"Selamat Datang di situs Filsafat Pendidikan Islam. Situs ini memuat materi seputar Filsafat pendidikan Islam. Situs ini juga sebagai media interaksi kami dengan Maha Guru kami juga sebagai wahana untuk penilaian (tugas). Situs ini tampil dengan sangat sederhana mengingat situs ini adalah untuk kegiatan resmi perkuliahan. Kami menerima saran dan kritik dari para pengunjung. Terima kasih

Sabtu, 13 November 2010

SANG PENCARI KEBENARAN

Perkuliahan Filsafat pendidikan Islam pada hari Kamis tanggal 4 November 2010 disampaikan oleh Sang Maha Guru kita, Bapak Muhammad Qowim, M.Ag. Beliau mengawali perkuliahan dengan sedikit mengulas materi yang pernah beliau sampaikan mengenai perbedaan anatar agama animisme dinamisme, hindu budha, dan agama-agama semitik seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Beliau terkesan seorang yang sangat pluralis. Beliau jelaskan konsep-konsep dari masing-masing agama yang menjadi ciri pembeda agama satu dengan yang lainnya. 

Setelah menjelaskan peredaan anatara agama-agama. Sang Maha Guru menjelaskan bagaimana orang mencari kebenaran. Seabagian orang menggunakan metafisika dalam mencari kebenaran, sebagian yang lain memakai pendekatan naturalis. Beliau menggabkan sebuah bagan tetang perolehan suatu kebenaran atau ilmu seperti di bawah ini:




Dari tabel tersebut kita bisa melihat bahwa ada dua golongan dalam mencari kebenaran yaitu melalui metafisik/ magis dan natural/ naif, kedua cara tersebut kadangkala sulit dipertemukan atau sering berseberangan pendapat. Nah muncullah nalar kritis yaitu meragukan ilmu natural dan metafisik dalam bahasa lainnya mencari kebenaran dalam kebenaran. 

Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di kembangkan pola pemikiran nalar kritis tersebut. Menurut Fazlur Rahman, cara mengembangkan nalar kritis tersebut adalah dengan melalui kritik sejarah atau sering kita sebut teorinya yaitu doble movement (Dua Goyangan). Yang dimaksud dengan dua goyangan yaitu melihat teks seperti pada saat masa turunnya teks dan di bandingkan dengan teks dibaca pada zaman ini. 

Tokoh nalar kritis lainnya yaitu Mansour Faqih, dengan paham humanisasi dan leberasinya. Kemudian, Tokoh selanjutnya yaitu Athiyah Abrosiyah, Beliau berpesan agar umat Islam tidak jumud maka perlu universalisme Islamyang menghargai kesetaraan, kesamaan, keadilan, dan demokrasi. 

Setelah menerangkan panjang lebar tentang usaha mencari kebenaran dalam kebenaran, Sang Maha Guru membagi kami menjadi 5 kelompok, beliau menerapkan teori Active Learning, Kami tiap kelompok memposisikan sebagai : Mbah Maridjan, BMKG, Ngarsa Dalem (Pemda), MUI, dan masyarakat. Kami diminta mendiskusikan pandangan masing-masing komponen tersebut terhadap bencana Merapi dan mempresentasikannya. 

Saya (Dedi Wahyudi) mendapat kelompok BMKG, menurut pandangan BMKG, Merapi dalam kondisi awas. Sekarang karakter dari merapi sendiri sulit diprediksi dan tidak bisa dipantau secara pasti sebab merapi beraktifitas diluar kewajaran. Belum ada alat yang bisa mendeteksi atau memantau aktifitas merapi secara detail dan akurat. Aktifitas Alam tersebut tidak seperti fotokopi atau ulangan kejadian masa lalu yang mudah diperhitungkan. Seandainya gejala alam itu ulangan masa lalu maka gak akan terjadi musibah maut tersebut. 

Ilmu manusia itru sedikit dan terbatas. BMKG sudah berusaha maksimal dan hanya bisa meminimalisir bencana merapi berdasarkan peralatan-peralatan yang dimilikinya. Penanggulangan bencana sekarangh karena merapi sulit di tebak maka hany seperti spekulatif semata. Jadi BMKG sudah berusaha semaksimal mungkin menjalankan tugasnya hanya saja alam yang mulai tidak bersahabat.

Kemudian Sang Maridjan (kelompok Mbah Maridjan) angkat bicara, Mbah maridjan memakai metode lain dalam hal merapi tersebut. Seseorang jika hanya menggunakan rasio dalam mencari kebenaran maka kebenaran yang didapatkan tidaklah maksimal, maka perlu mencari kebenaran dengan hati. Selain itu, Mbah Maridjan wafat demi menjalankan sebuah amanah agung dari kraton jogja. 

Kemudian muncullah sanggahan dari tim BMKG bahwa Mbah Maridjan itu salah definisi. Yang namanya juru kunci itu seharusnya hanya memimpin upacara adat dan tokoh masyarakat bukan harus hidup mati disitu. Mbah Maridjan juga telah mendholimi orang banyak yang gak mau turun padahal sudah diingatkan sama para relawan dan ahli sehingga orang-orang yang setia ma Mbah Maridjan mati konyol. Jadi Mbah Maridjan gak mau taat pada ilmu pengetahuan dan tak memperhatikan kehidupan atau nyawa orang lain. Dia egois karena mempertahankan keyakinannya sendiri yang merugikan banyak orang. 

Tim Mbah Maridjan menepis tuduhan tersebut. Mereka berpendapat bahwa Mbah Maridjan tidak pernah meminta orang untuk percaya dan mengikutinya sebab Mbah Maridjan itu orang bodoh. Hanya saja orang-orang pada ngikut sendiri pada Mbah Maridjan.

Hamim, dari kelompok MUI mencoba untuk ikut memberikan pandangannya. Menurut MUI, Mbah Maridjan itu kurang tepat ambil langkah. Seharusnya taatlah kepada pemimpin diantara mereka. Nah pada saat bencana, yang memimpin adalah BMKG dan pengendali bencana. Tetapi, Mbah Maridjan tidak mengindahkan imbauan tersebut. Namun, berbeda dengn hamim, teman lainnya dalam satu grup justru menganggap Mbah Maridjan itu sendiko dawuh terhadap pimpinannnya dalam hal ini sultan atau pihak kraton. Mbah Maridjan tidak mau turun karena kraton tidak menyuruh turun.

Dari pihak Ngarsa Dalem (Pemkab) menuturkan bahwa Mbah Maridjan adalah orang yang memegang amanah. Bahkan sangat mulia, ditandai posisinya saat wafat beliau bersujud. Itu perlambang bahwa Mbah Maridjan ingin memberitahukan kepada kita bahwa akal itu posisinya dibawah hati. Jadi dalam mencari kebenaran maka utamakan hati daripada rasio atau akal.

Sedangkan Fauziah, anggota dari Kelompok warga berpendapat bahwa diantara warga sebndiri beraneka ragam keyakinannhya. Ada yang taat sama MUI, Mbah Maridjan, Pemkab, dll. 

Dari diskusi tersebut bisa kita ambil benang merah bahwa di dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah usaha mencapai kebenaran itu dengan metode yang berbeda. Metode tersebut bisa melalui jalur bayani, burhani, maupun irfani. Semoga kita semakin arif dan bijaksana dalam melihat dan menyikapi sebuah fenomena kehidupan ini. Salam Bijak.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar